Header Website 2024

Selamat Datang di Website Resmi Pengadilan Agama Poso. Jam Pelayanan Bulan Ramadhan Senin-Kamis : 08.00-15.00 WITA, Jum'at : 08.00-15.30 WITA. Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir Dan Batin.

Written by hardi on . Hits: 3095

Saksi Keluarga Terhadap Semua Jenis Alasan Dalam Perkara Perceraian 

Oleh : Zuhrul Anam, S.H.I.

 (Calon Hakim Pengadilan Agama Sanggau, kini magang di Pengadilan Agama Bandung dalam Program Pendidikan Calon Hakim Tahun 2018)

 saksi sidang

Pendahuluan

Pembahasan ini muncul setelah beberapa kali penulis mengikuti jalannya proses persidangan dalam kasus perceraian dan menemukan bahwa saksi yang dihadirkan oleh pihak adalah saksi keluarga walaupun perceraian tersebut selain alasan syiqaq. Sebagaimana ketentuan umum yang terdapat dalam pasal 145 HIR (Herzien Indonesis Reglement)/172 Rbg (Rechtsglement Buitengewesten) dan pada pasal 1910 BW (Burgelijk Wetboek) dinyatakan bahwa para anggota keluarga dan semenda dalam garis lurus dari para pihak tidak boleh didengar kesaksiannya. Namun, terdapat pengecualian dalam pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 1989 dan dan pasal 22 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 yang mana pada intinya saksi keluarga harus didengar jika alasan perceraian adalah syiqaq (perselisihan dan pertengkaran terus-menerus).

Sebelum penulis menjabarkan pembahasan tersebut, penulis telah menemukan setidaknya 2 artikel yang membahas tentang tema ini. Pertama, aertikel yang berjudulLogische SpesialiteitSaksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian, yang ditulis oleh Muhamad Rizki, S.H. Dalam artikelnya, ia memaparkan bahwa saksi dari pihak keluarga hanya diperbolehkan pada alasan syiqaq. Analisis yang ia gunakan adalah dengan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis (aturan yang khusus harus didahulukan dari aturan yang bersifat umum). Menurutnya, pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 1989 merupakan lex specialis dari pasal 145 dan 146 HIR/172 Rbg. Dan pada kesimpulannya, ia berpendapat bahwa saksi keluarga hanya boleh digunakan atas perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.

Adapun artikel kedua berjudul Saksi Keluarga Untuk Seluruh Jenis Perkara Perceraian, Cakapkah?, yang ditulis oleh Ahmad Z. Anam, M.S.I. Dalam artikelnya, ia memaparkan bahwa saksi keluarga pada pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 1989 merupakan lex specialis . Namun, lebih jauh ia menjelaskan mengenai landasan filosofis diperbolehkannya saksi keluarga menjadi saksi dalam perkara tersebut. Menurutnya, saksi keluarga dipandang paling mengetahui tentang kondisi keperdataan tertentu dari pihak yang berperkara. Kemudian, dalam kesimpulannya,ia berpendapat bahwa meskipun tidak disebut secara tegas dalam pasal pengecualian tersebut, namun sebagaimana penjelasan Pasal 145 HIR, perkara perceraian mutlak merupakan bagian dari perkara pengecualian itu. Konsekuensinya setiap perkara perceraian, baik dengan alasan syiqaq ataupun alasan-alasan lainnya, saksi keluarga sedarah dan keluarga semenda tetap cakap untuk didengar kesaksiannya.

Dari keduanya artikel tersebut, penulis akan membahas dengan analisis yang berbeda mengenai tema tersebut. Perceraian merupakan perkara yang paling dibenci Alloh SWT adalah thalak. Maka dari itu, terdapat pengecualian dalam hal pembuktian perkara perceraian. Walaupun dalili-dalil dalam gugatan telah diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, sebaiknya pembuktian tentang kebenaran dalil-dalil yang terdapat dalam gugatan tetap dibuktikan.4 Selain itu, kesaksian dari pihak keluarga atau orang-orang yang dekat dengan para pihak juga dalam didengar kesaksiannya dalam perkara perceraian dengan alasan Syiqaq.

 

Pembahasan

Mengenai hukum acara perdata yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama masih menggunakan HIR/Rbg dan BW. Hal ini dikarenakan Indonesia belum memiliki aturan perundang-undangan yang mengatur secara utuh mengenai keperdataan, setidaknya sampai saat ini. Sehingga landasan yang dipakai adalah hukum acara perdata zaman kolonial. Adapun syarat formil bagi saksi yang akan memberikan kesaksian dalam persidangan adalah:

     Pasal 145 HIR dinyatakan bahwa yang 1) tidak boleh didengar sebagai saksi adalah a) keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus; b) istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai; c) anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia Lima belas tahun; d) orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

     Pasal 172 Rbg disebutkan bahwa 1) tidak boleh didengar sebagai saksi adalah mereka a) yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak; b) saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu; c) suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai; d) anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun; e) orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.

     Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah: a) Anggota keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak dalam garis lurus, dan b) Suami ataupun isteri, meskipun telah bercerai;

Dari pasal-pasal diatas, maka secara umum kesaksian dari pihak keluarga tidak boleh didengar dalam persidangan dalam perkara keperdataan. Adapun alasan pelarangan tersebut adalah karena dikhawatirkan bahwa mereka akan memberikan keterangan yang palsu di persidangan, karena terpaksa disebabkan oleh hubungan keluarga yang dekat. Selain itu, untuk menjaga terpeliharanya hubungan kekeluargaan yang baik dan harmonis sebab apabila keterangan yang diberikannya dianggap merugikan kepentingan pihak keluarganya, dapat menimbulkan perpecahan dan dendam di antara keluarga yang bersangkutan dalam perkara yang sedang ditangani tersebut.

Dalam menyampaikan kesaksian, terdapat syarat materiil yang merupakan syarat yang bersifat kumulatif, bukan bersifat alternative. Adapun syarat materiil tersebut adalah :

Berdasarkan alasan dan pengetahuan, yang mana hal tersebut telah diatur dalam pasal 171 HIR, 308 Rbg dan 1907 KUHPer. Kesaksian para saksi harus berdasarkan alasan-alasan yang benar menjadi pendukung pengetahuan saksi atas fakta persitiwa.

     Keterangan saksi berkaitan dan relevan dengan fakta peristiwa dalam suatu perkara yang sedang ditangani.

Saling bersesuaian (mutual conformity), yang mana telah diatur dalam pasal 170 HIR, 307 Rbg, dan 1906 KUHPer. Bersesuaian yang dimaksud adalah kesaksian yang disampaikan oleh para saksi terjalin saling persesuaian dan tidak bertolak belakang.

Testimonium de auditu. Mengenai hal ini, terdapat dalam putusan MA nomor 239 K/Sip/1973 dan putusan MA Nomor 308 K/Sip/1959.

     Adanya kewajiban hukum imperative. Maksudnya, setiap orang tidak boleh dipaksa untuk menjadi saksi, akan tetapi tergantung pada kerelaan. Hal tersebut diatur dalam pasal 139 jo. pasal 143 HIR atau pasal 165 jo. pasal 170 Rbg.

Namun, pada ayat selanjutnya terdapat pengecualian mengenai ketentuan saksi keluarga. Pasal 145 HIR ayat (2) menyatakan bahwa:

Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang suatu perjanjian kerja.”

Pasal 172 ayat (2) Rbg yang berbunyi:

Namun keluarga sedarah atau karena perkawinan dalam sengketa mengenai kedudukan para

pihak atau mengenai suatu perjanjian keria berwenang untuk menjadi saksi.”

Pasal 1910 KUH Perdata berbunyi:

“…Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda adalah cakap untuk menjadi saksi:

1e. dalam perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;

2e. dalam perkara-perkara mengenai nafkah yang harus dibayar menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa;

3e. dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian;

4e. dalam perkara mengenai suatu perjanjian perburuhan. Dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat yang lalu, maka mereka yang disebutkan dalam pasal 1909 di bawah 1e dan 2e, tidak berhak untuk minta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian.

Dari ketiga pasal tersebut juga tidak secara tegas menyatakan bahwa dalam perkara perceraian diperbolehkan menggunakan saksi dari pihak keluarga. Redaksi perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara dalam pasal diatas masih terlalu luas jika hanya dipahami sebatas perkara perceraian saja. Walaupun jika redaksi tersebut sebagai bagian dari landasan diperbolehkannya saksi keluarga dalam kasus perceraian, maka hal tersebut akan menafikan pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975, pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 1989 dan pasal 134 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Karena dalam ketiga pasal tersebut, hanya perceraian alasan syiqaq (perselisihan dan pertengkaran terus-menerus) yang dapat menghadirkan saksi dari pihak keluarga.

Maka dari itu, kemudian Penulis analisis permasalahan tersebut dengan menggunakan teori Sinzheimer yang menyatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Hukum tidak hanya mengatur mengenai idealisme melalui prosedurnya, namun juga mengatur masyarakat agar timbul efek-efek tang memang dikehendaki oleh hukum. Selain itu, sebagaimana teori Gustav Radbruch mengenai 3 dasar nilai hukum yang mana tujuan hukum adalah kepastian hukum (normatif), kemanfaatan (sosiologis) dan keadilan (filosofis). Menurutnya, tatanan kebiasaan dalam masyarakat dengan hukum seringkali tidak sesuai. Jika kebiasaan mutlak berpegang pada kenyataan tingkah laku orang, maka hukum justru berpegang pada ideal yang masih harus diwujudkan dalam masyarakat. Nilai dasar kemanfaatan inilah yang akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga hukum mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakat.

Untuk mencapai tujuan hukum tersebut, masyarakat tidak hanya mendapatkan kepastian hukum, namun juga kemanfaatan serta keadilan.

Berangkat dari kedua teori tersebut, penulis menganalisis melalui 3 perspektif yaitu perspektif normatif, sosiologis, dan filosofis. Secara normatif, hal tersebut (saksi dari keluarga) tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal yang telah disebutkan diatas. Namun penulis berpendapat bahwa jika dilihat dari 3 pasal tersebut di atas (yang membolehkan saksi keluarga dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq) maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan redaksi perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara adalah perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus (syiqaq). Hal tersebut sejalan dengan artikel yang berjudul Saksi Keluarga Untuk Seluruh Jenis Perkara Perceraian, Cakapkah?. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa mengenai penjelasan Pasal 145 HIR, ditemukan redaksi sebagai berikut :

Yang dimaksud "tentang keadaan menurut hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.

Maka dari itu, secara normatif kesaksian dari pihak keluarga dapat digunakan dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq (perselisihan dan pertengkaran terus-menerus).

Adapun secara sosiologis, penulis memberikan argumen bahwa dalam kasus perceraian terdapat kecenderungan pada masyarakat Indonesia bahwa permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga banyak diketahui oleh pihak keluarga sebelum permasalahan tersebut diketahui oleh orang banyak. Bahkan, dalam rangka usaha perdamaian secara maksimal, hakim dapat memanggil pihak keluarga dari masing-masing pihak atau orang dekat dengan Penggugat dan Tergugat guna didengar keterangannya. Hal ini sejalan dengan penjelasan sebuah artikel dari Badilag, yaitu:

rasionalisasi kecakapan saksi keluarga memberikan kesaksian dalam perkara tertentu tersebut adalah karena merekalah yang dipandang paling mengetahui tentang kondisi keperdataan tertentu” yang cenderung privat tersebut.

Selain itu, menurut penulis sebagaimana yang banyak terjadi di lapangan bahwa masyarakat kota memiliki kepekaan yang lemah dalam bersosial, sehingga antara satu dengan yang lain tidak saling mengenal (kecuali ketua RT/RW). Penulis berpendapat bahwa bagaimana mungkin mengetahui keadaan rumah tangga seseorang, sedangkan mengenal saja tidak. Adapun pada masyarakat yang tinggal di pedesaan, walaupun permasalahan suatu keluarga dapat diketahui oleh masyarakat, namun yang mengetahui secara pasti mengenai permasalahan tersebut tetaplah pihak dari keluarga. Maka dari itu, saksi keluarga dapat dihadirkan dalam kasus perceraian sepanjang hanya pihak keluarga lebih mengetahui permasalahan tersebut.

Sedangkan secara filosofis, penulis berpendapat bahwa tidak ada keluarga yang menginginkan perceraian terjadi kalau tidak terpaksa, artinya bahwa hanya kemungkinan kecil saksi dari keluarga akan memberikan keterangan yang tidak benar (bohong) hanya karena alasan menginginkan perceraian, sehingga dalam perkara perceraian keluarga akan berusaha obyektif memberikan keterangan. Selain itu, alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus merupakan muara dari alasan-alasan perceraian yang lain atau setidaknya mengiringi alasan-alasan yang lain. Jadi walaupun tidak secara tersurat tercantum dalam surat gugatan, majelis hakim dapat menerima saksi dari pihak keluarga sepanjang kasus tersebut merupakan kasus perceraian. Sebagaimana juga yang tercantum dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa:

Selain alasan-alasan lain yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Menurut pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 terdapat 6 alasan perceraian, yang mana dalam pasal 23 dinyatakan bahwa gugatan perceraian karena alasan salah seorang suami-istri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 huruf c,maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti Penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selain itu, dalam pasal 116 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 terdapat tambahan alasan perceraian yaitu suami melanggar talik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Hakim hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama dalam mengadili perkara perceraian, karena perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sacral, mengubah status hukum dari halal menjadi haram, berdampak luas bagi struktur masyarakat dan menyangkut pertanggungjawaban dunia akhirat, oleh karena itu perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan sudah pecah (broken marriage) dengan indicator yang secara nyata telah terbukti.

Maka dari itu, kesaksian dari pihak keluarga dapat digunakan dalam semua jenis alasan pada perkara perceraian sepanjang dapat membuktikan dan secara nyata terdapat indicator kuat tentang adanya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus/broken marriage.

Kesimpulan

Setelah penulis menganailsis melalui 3 perspektif (normatif, sosiologis dan filosofis), penulis berkesimpulan bahwa sedapat mungkin menghadirkan saksi dari orang dekat yang mengetahui pasti (melihat, mendengar, dan mengalami) permasalahan dari para pihak. Kalaupun tidak, saksi dari keluarga dapat didengar kesaksiannya sepanjang dapat memenuhi syarat materiil dan dapat membuktikan dan meyakinkan serta hakim dapat mengetahui secara nyata terdapat indicator kuat tentang adanya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus/broken marriage. Wallohu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

  Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2018, Edisi 2.

     Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, Cet.8.

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor: Ghalia

Indonesia, 2014, Cet. 2.

     Muslih, M., Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch, Jurnal Legalias, 2013, Volume IV Nomor 1.

Rizki, Muhamad, Logische Spesialiteit Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian,

Badilag, 2013.

Sutantio, Retowulan, & Iskandar Oerpkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan

Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2009, Cet. 11.

Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Pustaka Megister,

2016, Cet.4.

Z. Anam, Ahmad, Saksi Keluarga Untuk Seluruh Jenis Perkara Perceraian, Cakapkah?,

Badilag, 2013.

 

sumber tulisan asli : klik disini

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Poso 

Jl. P. Kalimantan No. 30 Poso

Sulawesi Tengah (94619)

Telp/Fax : 0452 - 21770

Email  : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

loc Lokasi Kantor

 facebook  igg  youtube  twitter

Tautan Aplikasi

Level AA conformance,
            W3C WAI Web Content Accessibility Guidelines 2.1  w3c html 5

cctv poso